Tugas Aspek Hukum dan Pembangunan
Nominal/Biaya
Berapa yang Harus Memakai Kontrak
Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 70
Jaminan Pelaksanaan diminta PPK kepada
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi untuk Kontrak bernilai diatas Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 28 Perpres No. 16 Tahun 2018
- Bentuk Kontrak terdiri atas:
- Bukti pembelian/pembayaran;
- Kuitansi;
- Surat Perintah Kerja (SPK);
- Surat perjanjian; dan
- Surat pesanan.
·
Bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan
nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
·
Kuitansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
·
SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
digunakan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan
nilai paling sedikit di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan nilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan
Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dengan nilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
·
Surat perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d digunakan untuk Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
dengan nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai paling sedikit di atas
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Harga Wajar dan Harga Tidak Wajar
Dalam proses pengadaan,
harga penawaran dari calon penyedia sangat menentukan bakal calon pemenang
lelang. Dan hal ini pun akan berkaitan dengan kualitas dari hasil pekerjaan.
Oleh karenanya, dalam evaluasi penawaran harga terdapat aturan, khususnya dalam
pekerjaan jasa konstruksi. Dalam pekerjaan konstruksi apabila harga penawaran
jauh dibawah HPS, < 80% HPS, maka dilakukan evaluasi kewajaran harga dengan
ketentuan:
1.
AHSP (analisa harga satuan pekerjaan) hanya diminta terhadap
calon penyedia yang menawar <80%. AHSP disampaikan pada saat klarifikasi
kewajaran harga (Permen PU 31/2015);
2.
Evaluasi kewajaran harga hanya untuk pekerjaan
konstruksi. Apabila ada penyedia jasa konsultan konstruksi dengan penawaran
dibawah 80%, tidak diberlakukan evaluasi kewajaran harga.
3.
Meneliti
dan menilai kewajaran harga satuan dasar meliputi harga upah, bahan, dan
peralatan dari harga satuan penawaran, sekurang-kurangnya pada setiap mata
pembayaran utama;
4.
Meneliti
dan menilai kewajaran kuantitas/koefisien dari unsur upah, bahan, dan peralatan
dalam Analisa Harga Satuan;
5.
Ketika
menawar dibawah 80%, penawaran penyedia akan diklarifikasi untuk item-item pekerjaan
yang harganya 80% dibawah harga di HPS, dichek apa memang harganya wajar
atau harganya dibanting;
6.
Apabila
total harga penawaran yang diusulkan lebih kecil dari hasil evaluasi, maka
harga penawaran dinyatakan tidak wajar dan gugur harga.
Apabila total harga penawaran lebih
besar dan/atau sama dengan dari hasil evaluasi, maka harga penawaran dinyatakan
wajar dan apabila peserta tersebut ditunjuk sebagai pemenang pelelangan, harus
bersedia untuk menaikkan Jaminan Pelaksanaan menjadi 5% (lima perseratus) dari
nilai total HPS. Apabila peserta yang bersangkutan tidak bersedia menaikkan
nilai Jaminan Pelaksanaan, penawarannya digugurkan dan Jaminan Penawaran
dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah, serta dimasukkan dalam Daftar
Hitam.
Contoh:
Pada sebuah Pengadaan Pekerjaan X dengan HPS Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Terdapat satu perusahaan yang memasukan penawaran untuk pekerjaan tersebut dengan harga penawaran (sebelum koreksi) jauh dibawah HPS, katakanlah penawaran tersebut dibawah 80% dari total HPS.
Pada sebuah Pengadaan Pekerjaan X dengan HPS Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Terdapat satu perusahaan yang memasukan penawaran untuk pekerjaan tersebut dengan harga penawaran (sebelum koreksi) jauh dibawah HPS, katakanlah penawaran tersebut dibawah 80% dari total HPS.
Jawaban
untuk Permasalahan tersebut.
Analisa
Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) perlu dilakukan apabila penawaran dibawah 80%.
Jika mengacu pada contoh diatas, maka perlu dilakukan evaluasi kewajaran harga
jika ada calon penyedia yang menawar dibawah Rp. 800.000.000,-.
Misalkan ada penyedia yang menawar Rp. 750.0000.000. Berarti penawaran penyedia dibawah 80% HPS.
Misalkan ada penyedia yang menawar Rp. 750.0000.000. Berarti penawaran penyedia dibawah 80% HPS.
- Dilakukan klarifikasi terhadap harga di item-item penawaran penyedia ternyata perhitungannya tanpa keuntungan saja misal menjadi Rp. 770.000.000.
750 juta < 770 juta ==> tidak mungkin dikerjakan karena akan rugi, maka calon penyedia tersebut digugurkan.
- Dalam hal dilakukan klarifikasi terhadap harga di item-item penawaran penyedia ternyata perhitungannya tanpa keuntungan saja misal menjadi Rp. 700.000.000.
750
juta > 700
juta ==> dapat dikerjakan karena tidak rugi, mungkin untung
sedikit, maka tidak digugurkan. Untuk harga penawaran dibawah HPS, dengan hasil
klarifikasi dinilai logis atau wajar maka nilai jaminan pelaksanaan yang harus
diserahkan oleh penyedia dihitung 5% dari nilai HPS.
Menurut Permen PU No. 31 Tahun 2015
a. Kontrak lump sum atau harga satuan ada evaluasi kewajaran harga
b. Terhadap penyedia jasa yang menawar di bawah 80% dari HPS, maka penyedia harus menyampaikan AHS untuk evaluasi kewajaran harga.
c. AHS disampaikan saat acara klarifikasi kewajaran harga
Menurut Permen PU No. 31 Tahun 2015
a. Kontrak lump sum atau harga satuan ada evaluasi kewajaran harga
b. Terhadap penyedia jasa yang menawar di bawah 80% dari HPS, maka penyedia harus menyampaikan AHS untuk evaluasi kewajaran harga.
c. AHS disampaikan saat acara klarifikasi kewajaran harga
Harga Timpang
Definisi Harga Satuan Timpang
menurut Pasal 92 ayat 1 Huruf c: Harga Satuan timpang adalah Harga Satuan penawaran yang melebihi 110% dari Harga Satuan HPS, setelah
dilakukan klarifikasi./ Syarat harga Satuan Timpang adalah sebagai berikut:
1. Harga Satuan Penawaran melebihi 110% dari Harga Satuan HPS;
dan
2. Telah diklarifikasi dan disetujui kepada si pemilik penawaran.
Potensi Harga Timpang ada pada Harga Satuan
Penawaran dibandingkan dengan Harga Satuan HPS sebelum menjadi Harga Satuan
Kontrak. Akan diakui sebagai Harga Timpang jika disepakati dan siap untuk
dijadikan Harga Satuan Kontrak antara PPK dan Penyedia. Inilah harga yang
diperjanjikan sejak awal dalam dokumen pengadaan barang/jasa. Harga Timpang
harus diklarifikasi dan disetujui agar sebelum kontrak ditandatangani semua
pihak sadar betul akibat yang diperjanjikan ketika terjadi Harga Timpang.
Pasal
66 ayat 5 huruf a menyatakan bahwa HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk
rinciannya. Jadi Penawaran yang wajar adalah:
- Harga Penawaran (Total) nya “sah”. Harga Penawaran yang Sah adalah yang Total Harga Penawaran-nya tidak melebihi HPS (Total HPS) Pasal 66 ayat 5 huruf b.
- Harga penawaran (Total) dibawah 80% HPS. Yaitu harga penawaran yang kewajaran harganya benar dan telah diklarifikasi, kemudian penyedia bersedia menaikkan jaminan pelaksanaan pekerjaan menjadi 5% dari HPS, Pasal 66 ayat 5 huruf c dan Permenpu 7/2011 sebagaimana diubah dengan Permenpu 31/2015.
Tidak ada sama sekali klausul peraturan yang menyebutkan
kewajaran harga dinilai dari Harga Satuan! Dengan demikian terdapatnya Harga
Satuan Timpang dalam Total Harga Penawaran tidak dapat dijadikan dasar
mengatakan bahwa harga penawaran adalah tidak wajar. Termasuk juga sangat tidak
beralasan kalau ada yang menyimpulkan Harga Satuan Timpang adalah harga yang
tidak wajar sehingga perlu dinegosiasi atau diklarifikasi untuk diturunkan
senilai harga satuan HPS.
Ketika
Harga Timpang telah disepakati menjadi bagian kontrak maka meleburlah harga
timpang tersebut menjadi Harga Satuan Kontrak dimana didalamnya terdapat
perlakuan-perlakuan yang telah disepakati dalam dokumen pengadaan.
Berikut ini adalah table perlakuan terhadap Harga Timpang berdasarkan beberapa
peraturan:
Perka 14/2012
|
Perka 1/2015
|
Permenpu 31/2015
|
Jika terjadi penambahan volume, harga
satuan yang berlaku sesuai dengan harga dalam HPS.
|
Jika terhadap harga satuan yang
dinyatakan timpang, dilakukan negosiasi teknis dan harga
|
Tidak Diatur
|
apabila setelah dilakukan
klarifikasi, ternyata harga satuan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan/sesuai dengan harga pasar maka harga satuan tersebut
tidak timpang.
|
||
SSUK
|
||
Tidak Diatur
|
Untuk kuantitas pekerjaan tambahan
digunakan harga satuan berdasarkan hasil negosiasi.
|
Untuk kuantitas pekerjaan tambahan
digunakan harga satuan berdasarkan hasil negosiasi.
|
PROSES PERENCANAAN
DOKUMEN SAMPA PELELANGAN KONTRAKTOR
1.
FASE
PERENCANAAN BIDANG DOKUMEN
a.
Penyusunan
Detailed Engineering Design (DED) : membuat gambar kerja untuk pelelangan
sekaligus gambar pedoman pelaksanaan pembangunan di lapangan.
b.
Penyusunan
Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) : membuat spesifikasi material/bahan,
alat, teknik/metoda kerja sebagian pedoman pelaksana, dan hal-hal yang bersifat
administratif dalam proyek.
c.
Penyusunan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Bill of Quantity (BQ) : RAB diberikan untuk
klien/pemilik proyek sebagai pedoman untuk menyeleksi kontraktor,
sedangkan BQ diberikan untuk calon
kontraktor yang mengikuti tahapan prakualifikasi untuk membantu membuat
penawaran proyek.
d.
Penyusunan
perhitungan teknik, dokumen kontrak, dan daftar informasi supplier :
perhitungan struktur digunakan sebagai dasar pembuatan gambar kerja struktur
yang sekaligus diperlukan untuk kepentingan non teknis proyek seperti proses
pengurusan IMB. Dokumen kontrak dibuat untuk klien/pemilik proyek yang telah
berhasil menentukan kontraktor untuk melakukan perjanjian tertulis. Informasi
supplier diberikan kepada klien/pemilik proyek sebagai panduan untuk
membandingkan harga pasaran dengan harga yang ditawarkan kontraktor, terutama
saat terjadi pekerjaan tambah-kurang di lapangan.
e.
Verifikasi
dan validasi desain : verifikasi adalah pemerikasaan kembali segala dokumen
yang hendak dilelangkan, yang dilakukan bersama dengan klien/pemilik proyek.
Sedangkan validasi adalah pemeriksaan dan penyetujuan diokumen oleh pihak yang
berwenang, misalnya untuk bangunan gedung pemerintahan, maka diperlukan
eksaminasi dokumen oleh Dinas Pekerjaan Umum bidang Cipta Karya.
f.
Perubahan
desain (aanvuling) : perubahan desain dilakukan jika ternyata setelah melalui
tahap verifikasi an eksaminasi, ternyata pihak pemeriksa menemukan adanya
ketidakbenaran dalam dokumen, sehingga diperlukan perbaikan dokumen gambar DED
atau dokumen RKS.
2. PELELANGAN KONTRAKTOR
a.
Menyiapkan
dokumen lelang
b.
Prakualifikasi
kontraktor : bersama dengan klien/pemilik proyek membuat pengumuman lelang dan
menyeleksi kontraktor yang mendaftar.
c.
Mengundang
kontraktor : bersama dengan klien/pemilik proyek mengundang kontraktor untuk
menghadiri penjelasan pekerjaan (aanwijzing)
d.
Pengambilan
dokumen pelelangan : bersama dengan klien/pemilik proyek mengurus pengambilan
dokumen lelang oleh para kontraktor.
e.
Penjelasan
dan petunjuk (aanwijzing) : bersama dengan klien/pemilik proyek, mengadakan
rapat dengan para kontraktor yang lolos prakualifikasi, menjelaskan secara
detail tata cara pelelangan dan detail teknis pekerjaan proyek yang harus dilaksanaan.
f.
Pemasukan
penawaran kontraktor : bersama dengan klien/pemilik proyek, menerima dokumen
penawaran yang diajukan oleh kontraktor.
g.
Memberikan
masukan pemilihan kontraktor dengan pertimbangan-pertimbangan dari aspek
rencana teknis pengerjaan sampai besaran anggaran yang diajukan.
h.
Membantu
proses kontrak antara pemilik proyek dengan kontraktor : mengawal klien/pemilik
proyek, pada saat melakukan perjanjian kerja dengan kontraktor terpilih.
SHOW
CAUSE MEETING (SCM)
Bagi mahasiswa teknik sipil dan para pekerja konstruksi harus tahu
istilah dari pengertian Show Cause Meeting (SCM). SCM
secara deinitif diartikan sebagai Rapat Pembuktian. Dan yang akan kita bahas
disini adalah Rapat Pembuktian Keterlambatan pada pekerjaan
konstruksi. Keterlambatan
tersebut bisa terjadi karena kendala dari segi material/bahan, kurangnya
pekerja dilapangan dan kondisi alam.
Show Cause Meeting (SCM) diadakan
oleh Pejabat Dinas terkait dalam hal ini Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK). Rapat diadakan dikarenakan
adanya kondisi kontrak kerja yang dinilai kritis dan berpotensi waktu
pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian pekerjaan yang telah
dibuat.
Karena kontrak dinyatakan
kritis dalam hal penanganan pekerjaan, maka kontrak kritis harus dilakukan
dengan rapat pembuktian SCM. Pejabat Dinas dalam hal ini PPK harus memberikan
peringatan tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis
kepada kontraktor mengenai
keterlambatan dalam melaksanakan pekerjaan.
A.
Ketentuan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Sesuai dengan Permen PU No. 07/PRT/M/2011 Buku PK 06A-BAB VII B6 Angka 39.2, kontrak dinyatakan kritis apabila:
Sesuai dengan Permen PU No. 07/PRT/M/2011 Buku PK 06A-BAB VII B6 Angka 39.2, kontrak dinyatakan kritis apabila:
1. Periode I (rencana fisik
pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih
besar 10% dari rencana.
2. Periode II (rencana
fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan
terlambat lebih besar 5% dari rencana.
3. Rencana fisik
pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat
kurang dari 5% dari rencana dan akan melampui tahun anggaran berjalan.
B.
Penanganan Kontrak Kritis sebagai berikut:
Penanganan Kritis Periode I dan Periode II
Penanganan Kritis Periode I dan Periode II
1.
Pada saat kontrak dinyatakan kritis, Direksi pekerjaan menerbitkan
surat peringatan kepada kontraktor/penyedia dan selanjutnya
menyelenggarakan Show Cause Meeting (SCM).
2.
Dalam SCM PPK, Direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyediah
membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh
Penyediah dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan
dalam Berita Acara SCM Tingkat Pertama.
3.
Apabila penyediah gagal pada uji coba pertama, maka dilaksanakan
SCM II yang membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai
oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (Uji coba kedua) yang dituangkan
dalam Berita Acara SCM II.
4.
Apabila Penyedia gagal pada uji coba tahap kedua, maka
diselenggarakan SCM III yang membahas dan menyempakati besaran kemajuan fisik
yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga)
yang dituangkan dalam Berita Acara SCM III.
5.
Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat
peringatan kepada Penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan
pekerjaan.
Dalam hal setelah diberikan SCM
III yaitu Rencana fisik pelaksanaan 70 % - 100 % dari kontrak, realisasi fisik
pelaksanaan terlambat kurang dari 5 % dari rencana dan akan melampui tahun
anggaran berjalan dan penyedia tidak mampu memenuhi kemajuan fisik yang sudah
ditetapkan, PPK melakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran
berakhir, dengan ketentuan:
1.
PPK dapat memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan sisa pekerjaan paling lama 50 (lima puluh) hari kalender dengan
ketentuan, penyedia secara teknis mampu menyelesaikan sisa pekerjaan paling
lama 50 (lima puluh) hari kalender.
2.
PPK dapat langsung memutuskan kontrak secara
sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266 kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
atau
3.
PPK dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan
pekerjaan. Pihak lain tersebut selanjutnya dapat menggunakan bahan/peralatan,
dokumen kontraktor, dokumen desain yang dibuat oleh atau atas nama penyedia.
Seluruh biaya yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan pihak lain sepenuhnya
menjadi tanggung jawab penyedia berdasarkan kontrak awal.
Komentar
Posting Komentar